Kamis, 09 Oktober 2008

Optimalisasi Peran Desa dalam menekan arus urbanisasi


Mudik lebaran sudah menjadi tradisi bagi sebagian besar masyarakat bangsa Indonesia.namun di balik tradisi tersebut selalu saja memberikan tambahan pekerjaan rutin tahunan kepada pemerintah beberapa kota besar seperti Jakarta.
Diperkirakan tidak kurang tiap tahun sekitar 200 ribu penduduk tambahan datang menyerbu Jakarta,walaupun telah diatur dalam perda N0. 4 Tahun 2004 yang mengatur tentang warga pendatang peraturan tersebut tidak dapat membendung gelombang para pendatang baru di Jakarta, hal tersebut membuat pemda DKI Jakarta tahun 2008 akhirnya mengultimatum bagi setiap pendatang ikutan dengan memberlakukan sweepping dengan sangsi di pulangkan paksa ke daerah asalnya yang akhirnya mengundang Komnas HAM memberikan respon terhadap langkah preventif Pemda DKI.
Besaran arus urbanisasi nyaris berbanding lurus dengan arus mudik pada Tahun 2008 ini . Membesarnya arus urbanisasi, menurut Michael Lipton (1977), merupakan refleksi kegagalan ekonomi di desa yang ditandai sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan gagalnya revitalisasi pertanian yang ditandai maraknya alih fungsi lahan sebagai push factors. Di sisi lain, daya tarik kota dengan penghasilan tinggi sebagai pull factors. Dalam teori pasar kerja, preferensi itu logis sehingga berimplikasi pada besarnya suplai tenaga kerja di perkotaan.
Masalahnya,disparitas ekonomi antar wilayah perkotaan dengan pedesaan memunculkan ”urbanisasi prematur”.

Otonomi daerah harus menekan laju urbanisasi
Peningkatan arus urbanisasi ini terdorong karena belum optimalnya implementasi UU Otoda Nomor 22 Tahun 2004 dimana Pemerintah daerah belum berhasil menyediakan lapangan pekerjaan di pedesaan-pedesaan sehingga kota-kota besar menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat pedesaan.hal itu diakibatkan karena pemerintah daerah gagal di dalam menterjemahkan peluang dan potensi daerahnya. Sentralisme ekonomi dan komersialisasi pembangunan menjadikan pergerakan ekonomi berkutat di
kota-kota besar. Apabila ini dibiarkan akan menjadi bom waktu yang ditimbulkan akibat dari dampak urbanisasi.
Oleh karena itu, perlu dilakukan revitalisasi kelembagaan pada tingkat operasional, optimalisasi sumber daya, dan pengembangan sumber daya manusia pelaku usaha dan pemerintah daerah dalam implementasi Otonomi Daerah,keleluasaan dalam regulasi yang memproteksi petani dan usaha kecil dimana indikator-indikator tersebut di harapkan mampu meningkatkan daya saing melalui peningkatan produktivitas serta merespons permintaan pasar dan memanfaatkan peluang usaha. Selain bermanfaat bagi peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan pada umumnya, upaya tersebut juga dapat menciptakan diversifikasi perekonomian pedesaan, yang pada gilirannya meningkatkan sumbangan dalam pertumbuhan perekonomian regional dan nasional dengan begitu akan menekan arus urbanisasi karena adanya keseimbangan ekonomi antara kota dan desa dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang ragam dengan demikian tujuan dari pada otonomi daerah dapat mencapai sasaran.selain masyarakat pedesaan yang sejahtera hal tersebut tentu saja menekan laju arus urbanisasi karena motif ekonomi telah dapat dijawab dengan tersedianya kesempatan kerja dan peluang usaha di pedesaan.

Senin, 15 September 2008

Quo Vadis Pendidikan Nasional














Seluruh sektor kehidupan bangsa merupakan perhatian Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan dari output dunia pendidikan. Semenjak negara Indonesia berdiri, Founding Fathers bangsa ini sudah menanamkan semangat dan tekad untuk memperjuangkan keadilan bagi seluruh warga negara indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31 dimana pendidikan adalah hal yang paling mendasar dan sudah semestinya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Termasuk di dalamnya memperoleh hak pendidikan yang layak. Cita-cita luhur tersebut kemudian dituangkan ke dalam rumusan Mukadimah UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (het doel van de staat), yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
Krisis multidimensional yang melanda Indonesia saat ini telah membuka mata kita terhadap mutu SDM Indonesia. Secara tidak langsung juga merujuk pada mutu pendidikan yang menghasilkan SDM. Meskipun sudah merdeka selama 62 tahun dan menghadapi globalisasi di era milennium ini tetap saja mutu pendidikan Indonesia dapat dikatakan masih sangat rendah dan memprihatinkan.
Hal tersebut setidaknya dapat kita ketahui dengan melihat peringkat indeks pembangunan manusia (human development index/HDI)versi UNDP
Laporan yang dikeluarkan UNDP pada Human Development Report 2006, Indonesia menduduki peringkat 107 dari 170 negara anggota PBB. Bahkan yang lebih mencemaskan peringkat tersebut justru sebenarnya semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun 1997 HDI Indonesia berada pada peringkat 99. Lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, dan kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004.
Mempertanyakan kembali arah pendidikan kita dalam situasi kultural-politis seperti sekarang menjadi kian aktual dan mendesak. Jika kita menginginkan solusi integral dan realistis diperlukan pembaruan di bidang pendidikan yang secara esensi bersifat kultural sekaligus politis.
Pembaruan pendidikan membutuhkan analisis mendalam tentang peran intelektual dalam masyarakat kita. Sekaligus pertanyaan kritis tentang proyek politik pemerintah dalam kerangka pendidikan. Untuk itu dibutuhkan proyek politik-kultural integral yang tak sekadar perubahan teknis semata.
Paradoks pendidikan indonesia
Rencana Depdiknas untuk membagi jalur pendidikan menjadi dua kanal; jalur pendidikan formal mandiri dan formal standar, menuai banyak protes. Yang menjadi keberatan khalayak, bukan saja itu dinilai berdasarkan atas perbedaan kelas sosial dan ekonomi, namun juga atas dasar kemampuan akademik, yang berasumsi bahwa manusia miskin dan bodoh tidak punya hak untuk mendapatkan pendidikan bermutu dan berkualitas.
Alhasil, yang terjadi, pendidikan dikelola bak perusahaan di mana pendidikan yang berkualitas diperuntukan bagi pihak yang punya kemampuan finansial. Sementara orang miskin akan tetap dengan kondisinya. Dari sini pemerintah terkesan ingin melepas tanggung jawab atas terwujudnya pendidikan gratis, bermutu, dan berkualitas bagi rakyat Indonesia.
upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari turunnya derajat "kewajiban" pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada.
Penurunan derajat kewajiban pemerintah juga terlihat di Pasal 11 UU Sisdiknas, Ayat (1) dan (2). Dengan halus, pasal ini secara bertahap ingin menurunkan kadar "kewajiban" pemerintah menjadi sesuatu yang tidak di lakukan pun tidak menjadi masalah ,Lengkapnya dinyatakan dalam Ayat (1), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggarakannya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi", dan juga Ayat (2), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun".
Padahal, dalam UU Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar bagi warga negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, ""Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah".
Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), ""setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Kemudian, diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya".
Apalagi dengan adanya RUU BHP, pendidikan malah dijadikan sarana untuk menjadi penambahan pendapatan asli daerah (PAD). Hal itu dimungkinkan karena dengan adanya RUU tersebut, nantinya semua satuan pendidikan-termasuk pendidikan dasar dan menengah-wajib menjadi Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM), seperti yang tertera dalam Pasal 46 Ayat (4). Dengan menjadi BHPDM, maka pihak sekolah wajib meminta izin kepada pihak pemda. Di sinilah adanya kekhawatiran akan pemanfaatan perizinan pendidikan menjadi pemasukan PAD akan terjadi.
Terakhir, dengan berubahnya status satuan pendidikan menjadi BHPDM maka nantinya tidak ada lagi sekolah dasar negeri, namun yang tersisa ialah sekolah yang dimiliki masyarakat ataupun pemda. Sementara pemerintah, di sisi lain, lepas tangan dan berkonsentrasi mengurusi biaya beban utang luar negeri yang kian membengkak. Di sinilah hal penting sedang terjadi, yaitu pelanggaran terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 31, secara nyata dilakukan dengan sistematis oleh para penyusun UU dan PP, serta RUU di bawah UUD 1945.
Bila pemerintah ingin melepaskan tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu, maka UUD 1945 Pasal 31 perlu diamandemen. Bila hal itu tidak dilakukan, maka bagi yang tidak menjalankannya dianggap melanggar konstitusi bangsa ini.
Pembaruan di bidang pendidikan tidak akan terjadi tanpa dibarengi pembaruan di bidang politik dan hukum dengan kajian yang mendalam dari pemerintah. Merobohkan tembok yang dibuat untuk mengebiri hak warga negara dalam menerima pendidikan sebenarnya tidaklah sulit.
Namun, untuk merobohkan tembok itu, pemerintah memerlukan kajian yang mendalam terhadap tujuan program pendidikan serta mensosialisasikan kemana arah langkah pendidikan bangsa ini ke setiap elemen bangsa,Tak seorang pun di negeri ini memiliki hak untuk mengebiri hak warga negara untuk memperoleh pendidikan seperti yang dikumandangkan dalam UUD 1945.
Situasi pendidikan kita tak akan beranjak jauh jika pintu gerbang menuju jalan kesejahteraan dan kemakmuran tetap "ditembok" oleh nurani sempit para petualang politik, estetika rendahan pencinta kekerasan, dan gelegar moral pemasung kebenaran. Namun, kenyataannya situasi inilah yang kita miliki sekarang.


lihat juga..
http://suarapembaca.detik.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/23/time/071227/idnews/820518/idkanal/471
Donald Around Mantiri
Raya Candi No VD Blok B Malang
Donald_mantiri@yahoo.com
Sarjana Jurusan Komunikasi Universitas Merdeka Malang, Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Administrasi Publik Universitas Merdeka Malang.